Senin, 19 April 2010

The Jakarta Hidden Tour

Judul di atas bukan “pepesan kosong” lho. Ini benar-benar kenyataan. Ternyata ibukota kita ini punya seribu tujuan wisata.

Mau lihat kejayaan masa lalu ? Ada.

Gemerlapnya metropolitan ? Ayo…

Rimbunnya “hutan kecil” plus hewan ratusan jenis ? Boleh….

Kuliner beraneka rasa dan rupa ? Yukk..

Namun, tak disangka, tak dinyana. Ternyata banyak turis mancanegara khusus mengunjungi Jakarta hanya untuk melihat, menikmati, merasakan dan bertegur sapa dengan penghuni rumah-rumah kumuh !

Anda tentu kaget dan bertanya-tanya. Apa pula ini ?

Mengapa symbol dari “belum majunya” ekonomi sebuah negara dipertontonkan dengan vulgar ? Apakah turisnya yang “nyeleneh” karena bosan dengan plesiran gaya klasik, yakni ; berenang, berselancar dan berjemur dipantai atau bersepeda, hacking dan climbing di pegunungan atau hanya beli sana beli sini souvenir di handicraft store ?

Tidak juga.

Bukannya si turis “aneh-aneh”, tapi disinilah kekuatan sebuah cyber promo !

Dipelopori seorang seniman yang lulusan IKJ, yang mempunyai kemampuan luar biasa dalam menjual sebuah keunikan, dan memanfaatkan kekuatan Web 2.0, ternyata promo yang diakses kalangan tertentu saja, telah tersebar ke mancanegara. Promonya diberi judul “The Jakarta Hidden Tour”, sebuah judul yang terkesan sembunyi-sembunyi, menghindari sebuah ekses yang tidak baik.

“The Jakarta Hidden Tour” sampai saat ini sudah berjalan lebih dari satu tahun !
Peminatnya dari berbagai negara, paling banyak Eropa, disusul Jepang dan Australia. Biayanya tak murah juga untuk ukuran orang Indonesia yakni Rp 1.5 juta per kepala, dan telah dikelola secara professional. Hebat memang si alumni IKJ ini.

Tak usahlah saya menyebut tempat-tempat yang dikunjungi itu. Namun yang pasti, rombongan turis begitu menikmati kunjungan mereka, bahkan terjadi dialog interaktif (yang pasti via penterjemah) antara turis dan orang-orang di pemukiman kumuh itu. Malah pake acara foto-foto gembira.

Hah ? Dunia sudah terbalik ?

Bukan. Dunia itu bulat, dibolak-balik ya sama saja.

Tapi, salah satu alasan mengapa mereka begitu menikmati kunjungan mereka. Karena di tempatnya sana sudah “tidak ada” lagi pemandangan seperti ini, dan “this is unique !!”.

Lucunya, mereka heran, dengan hidup yang pas-pasan dan tempat yang begitu buruk sanitasinya, anak yang cukup banyak, si warga kumuh tetap kelihatan gembira, dan hebatnya lagi – setiap mereka punya profesi. Apa itu tukang ojeg, pedagang asongan, pengemis, pengamen, PSK, tukang cukur rambut, ojeg sepeda, pembantu rumah tangga harian, buruh cuci, penyemir sepatu, supir atau kernet bis tukang somay, tukang bakso, tukang parkir, penjaja jasa kemoceng mobil, banci keliling…wahhh, masih banyak lagi. Mungkin anda bisa menambahkan lagi.

Apakah ini namanya “entrepreneurship” ?

Boleh ya, boleh tidak.

Ya, karena mereka bekerja tanpa dukungan sebuah perusahaan, atau mengemis jasa pemerintah.

Tidak, karena mereka tidak pintar membuat izin atas profesinya, dan tak satupun menjadi pembayar pajak.

Menurut beberapa turis, selain menikmati “pemandangan” khas situasi kaum urban Jakarta ini. Mereka yang rata-rata berkocek tebal juga bisa melakukan amal, donasi bahkan filantropi. Jadi jangan salah jika Pemprov DKI “pasti” akan kecolongan dalam hal bantuan yang tidak melalui mereka, tetapi direct ke warga pemukiman, dengan pembagian yang teratur dan tertata rapi.

Ini sebuah tamparan yang sangat “memerahkan” tapi “tidak melukai”.

Anda masih ingat ? Ketika pada tahun 1980-an, ketua IGGI (sebuah badan dan kelompok negara yang memberikan bantuan buat Indonesia), waktu itu Mr.JP Pronk asal Belanda, mencium “indikasi” bantuan yang tak pernah tersalur ke rakyat miskin di Indonesia. Pronk, langsung “turun ke bawah”, ke beberapa kota, dengan sampel wilayah dan rakyat secara acak, salah satunya dia mendatangi tukang becak, pedagang keliling dan anak-anak yang sakit di pemukiman kumuh Jakarta.

Apa yang terjadi ?

Jawaban rakyat serentak tanpa ada yang mengkomandoi, “Tidak pernah ada bantuan apapun kepada kami!”.

Pronk begitu marahnya, dan langsung menjumpai petinggi-petinggi negara pada saat itu, dan melakukan “audit” dadakan. Sayangnya, para “umara” kita ini tak ada yang mengaku, malah Pronk “diusir” layaknya penjahat yang dideportasi dan entah dengan kekuatan apa, IGGI dibubarkan ! Namun dibentuk sebuah badan baru namanya CGI dalam kurun waktu tak lebih dari tiga bulan !

Hebat ya.

Logikanya gini. Malingnya ditangkap Polisi, eh sejam kemudian Polisi yang menangkap itu digebuki sama maling. J

“The Jakarta Hidden Tour”. Inilah buah dari kemerdekaan republik ini, yang secara de jure statusnya “merdeka”, namun secara “de facto”, tak pernah ada kata merdeka itu.

Ketika Indonesia menjadi sebuah negara yang masuk di Kelompok Elite G-20, ketika Indonesia menjadi negara berkembang dan satu-satunya di Asia yang punya pertumbuhan ekonomi plus, diluar negara-negara maju, ketika Indonesia mengaku telah berswasembada beras, ketika Indonesia mengaku memiliki kekayaan alam yang melimpah, ketika Indonesia mengaku sukses mencerdaskan bangsa.

Ketika itu pula ada fenomena antik terjadi, pertumbuhan ekonomi yang tolok ukurnya hanya dari komoditi, tak menghitung pendapatan perkapita sebagai salah satu variable-nya, ketika swasembada beras hanya terjadi di satu atau dua musim tanam saja, dan juga tak terlihat bagaimana cara mengkonversinya, ketika kekayaan alam dieksplorasi secara membabi buta dengan acuan “melanggar habis pasal 33 UUD 45”bukan berdasarkan “pasal 33 UUD 45”, ketika kecerdasan bangsa hanya meng-expose kerja keras bapak Prof.Yohanes Surya – yang membawa anak-anak Indonesia menjadi juara-juara pada olimpiade sains, padahal masih banyak anak putus sekolah dan menjadi korban human trafficking.

“Kita tak boleh diam !”

Begitulah kata partai-partai ketika kampanye.

Terus mau berbuat apa ? Tanya rakyat.

“Ayo Kita Diam !”

Kata partai-partai yang anggotanya duduk manis di kursi Dewan.

“The Jakarta Hidden Tour”, inilah buah dari kreativitas anak bangsa, yang tidak bisa disalahkan, bahkan penyelenggara negara harus bersyukur bahwa Indonesia tidak pernah kekurangan sumber daya untuk membangun bangsanya, walaupun terpaksa harus “menjual” kemiskinan dengan nyata, bukan dengan “statistik” yang hanya dipresentasikan, dijual-jual sana sini agar dapat pinjaman lunak tak berbunga, dan jangka panjang lagi. Dan setelah pinjaman itu tiba, ada hukum matematika yang hampir pasti berlaku di negeri ini.

“Bisa tambah-tambah, bisa kurang-kurang, bisa kali-kali. Tapi tak bisa bagi-bagi”

sumber:/sosbud.kompasiana.com/2009/12/25/the-jakarta-hidden-tour/

Tidak ada komentar:

resep.web.id